Sabtu, 05 Mei 2012

BIARKAN AKU JADI WANITA PALING BERUNTUNG


Aku bernama Annisa Maharani. Ayah memberiku nama tersebut karena Ayah dan Ibu berharap aku dapat menjadi wanita yang dapat memberikan sinar bagi orang lain. Orang-orang biasa memanggilku “Maha”. Yeah aku sendiri kurang begitu menyukai nama panggilanku. Hmmmm memang terdengar sedikit aneh dan rada asing di telinga. Tapi mau bilang apa lagi, itu sudah jadi nama yang melekat dalam diriku dan akan kubawa salama hidupku. Oh ya mari kita tinggalkan topik ini karena aku sudah bosan menceritakan tentang nama panggilanku ini.
Sekarang aku bersekolah di SMAN 3 Yogyakarta. Aku masih duduk di kelas sepuluh, masih terhitung anak bawang kalau menurut anak-anak SMA. Di lingkungan tempat tinggalku, keluargaku terkenal sebagai keluarga yang religi. Ayahku adalah salah satu orang yang cukup berpengaruh di Yogyakarta, sedangkan ibu adalah seorang dosen di IAIN Yogyakarta. Dan aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Hafis Abdullah yang sekarang sedang berkuliah di ITB Bandung fakultas pertambangan. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Mas Afis. Maklum kelurga kami adalah suku Jawa, jadi semuanya harus berabau adat Jawa. Oh ya kita kembali lagi ke topik kakakku, aku sangat menyayangi Mas Hafis. Ia bukan saja sekedar kakak bagiku tapi juga sahabat untukku. Ia selalu memanjakan diriku, dan pemikiran Mas Hafis begitu dewasa tidak seperti aku yang suka bersikap layaknya anak kecil. Aku bangga sekali memiliki kakak seperti Mas Hafis. Mas Hafis itu orangnya cerdas, bukan hanya di bidang pelajaran saja tapi juga di bidang agama pun ia pintar. Banyak sekali organisasi kampus yang ia ikuti, sehingga ia jadi orang yang super sibuk setiap harinya.
Tak salah-salah Tuhan memberiku kakak sepertinya. Mas Hafis adalah pria idola, tidak hanya di kalangan teman wanitanya, tapi juga di kalangan teman-teman cewekku. Terkadang aku berfikir kenapa sih Mas Hafis harus jadi kakakku, kenapa tidak jadi pacarku saja. Hahahaha itu adalah pikiran gila. Yah sejak Mas Hafis kuliah di Bandung, ia mulai menjalin hubungan dengan teman sekampusnya Mbak Rere. Mbak Rere adalah pacar pertama Mas Hafis. Dan yang hebatnya lagi Mas Hafis juga pacar pertamanya Mbak Rere.ckckckck Mereka memang pasangan yang serasi. Huawaaaa aku jadi iri nih..huuhuhu Well? Kayaknya aku udah terlalu banyak cerita tentang kakak kesayanganku. So sekarang saatnya aku akan bercerita tentang diriku.
Di dalam keluargaku, ayah benar-benar melarang anak-anaknya untuk berpacaran saat masih duduk di bangku SMA. Kata ayah sih ia tak mau akhlak anak-anaknya rusak karena pacaran, dan ayah juga berpendapat anak-anak seusiaku itu pikirannya masih kolot dan belum dapat bersikap dewasa. Ya walau tak sependapat dengan ayah, tapi sebagai seorang anak aku bisa apa? Lebih baik diam deh, ketimbang dikutuk ayah jadi kodok karena sudah melawan pendapatnya. Tapi aku rasa kalau kali ini ayah tau apa yang sudah aku lakukan, ayah bukan saja akan mengutukku jadi kodok bahkan lebih parah dari itu. Oh God jangan sampai itu benar-benar terjadi padaku. Yah secara diam-diam aku berpacaran dengan teman satu sekolahku, dia adalah Rafka Alfarizi. Sudah dua bulan belakangan ini aku dan Rafka berpacaran. Dan sampai saat ini belum ada yang tau kalau aku pacaran dengan Rafka. Tapi aku ingin sekali berbagi cerita tentang apa yang kualami dengan Rafka, karena aku gak sanggup memendam ini sendiri. Aku bukan penyimpan rahasia yang baik tampaknya. Well orang yang paling tepat untuk tempatku bercerita adalah Mas Afis. Maka malam ini aku akan menelphone Mas Afis.
“Assallammu’allaikum mas..”
“Wa’alaikumsallam dek. Kenapa telphone?”
“Mas lagi sibuk ya? Aku mau curhat nih, boleh gak?”
“Gak kok mas lagi gak sibuk. Mau curhat apa sih adik mas yang cantik ini?”
“Hmmm…tapi mas mesti janji jangan bilang sama ayah ya?”
”So..itu tergantung cerita kamu. Kalau itu berbahaya mas akan cerita sama ayah.”
“Nggak kok mas ini gak berbahaya. Janji ya mas jangan bilang-bilang sama ayah. Janji ya?! Ya?!”
“Oke. Ayo sekarang cerita!”
Aku sedikit merendahkan volume suaraku karena saat ini aku sedang berada di ruang nonton tv, dan aku takut tiba-tiba ayah atau ibu muncul dan mendengar pembicaraanku dengan Mas Afis.
“Hmmm….jadi begini mas, hmmmm aduh…gimana ya bilangnya. Mas jangan marah ya?”
Dari seberang telephone terdengar suara Mas Afis “He-eh”
“Mas….aku…a..ku.. pacaran.!! Usssssss…..”
“Apa kamu bilang tadi? Ulangi lagi!” Terdengar suara Mas Hafis seperti tersedak makanan.
“Ih…Mas Afis ini lho, nanti ketahuan. Uh….!”
“Kamu sudah berani pacaran? Kamu sudah gila ya? Kamu mau dihukum ayah karena pacaran?”
“Aduh mas aku ini masih sangat-sangat waras. Mas janji ya jangan bilang-bilang sama ayah. Ya?! Ya mas ya?! Janji deh aku gak bakal macem-macem pokoknya. Suer!” Aku mengacung jari telunjuk dan jari tengahku membentuk huruf V.
“Tapi kamu sudah melanggar peraturan yang udah ayah buat Maha!”
“Iya aku tau kok, mas-mas kita ganti pembicaraan ada ayah tuh!”
Akhirnya acara curhatan itu berakhir dan sekarang gantian ayah yang ngobrol dengan Mas Hafis.
***
Pagi ini aku sedikit kesiangan pergi ke sekolah karena ayah tidak sempat mengantarkan aku pagi ini, katanya ada rapat penting pagi ini. Terpaksalah aku naik bus untuk pergi ke sekolah. Sampai di parkiran sekolah aku bertemu Rafka, dia baru saja memarkirkan motornya. Kami berjalan bersama dari parkiran ke kelas. Kebetulan kami tidak satu kelas, aku di XA sedangkan Rafka di XF.
“Aku duluan ya ka?! Hati-hati.” Ku lambaikan tangan kananku dan Rafka pun membalas lambaikan tanganku. Baru saja kuletakkan tasku di atas meja, bel masuk sudah berbunyi. Pelajaran pertama hari ini adalah FISIKA. Aku benar-benar tak menyukai pelajaran yang banyak rumusnya. Rasanya saraf-sarafku akan putus bila sudah melihat rombongan rumus-rumus yang seperti cacing. Dua jam pelajaran Fisika sudah cukup menguras pikiranku. Saat ganti pelajaran, ternyata ibu Farida guru kesenian kami tidak masuk. Wah aku dan teman-temanku bagai mendapat sebuah tiket geratis liburan. Dan mulailah teman-temanku sibuk untuk lari ke kantin atau membentuk kelompok-kelompok rumpi dalam kelas. Tapi saat ini aku sedang tak ingin bergabung dengan teman-temanku. Maka seperti kebiasaanku, aku akan bersembunyi di bawah kolong mejaku. Ku ambil handphoneku dari dalam kantong baju dan ternyata surprise ada sebuah pesan. Wow! Ternyata dari Rafka.
Hai! Nanti siang jalan barg yuk?!
Aku ingin sekali pergi bersama Rafka, tapi aku takut ketahuan oleh ayah. Aduh bagaimana ini?!
Hmmm…Rafka aku tkt kethuan ayah. 
Beberapa menit kemudian rafka membalas SMS-ku.
Oh..ya udh dh gpp. Tp mw ya aku antern plg? 
Lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa.
Baiklah. Tp kmu antr aku smpe dpn gang aja ya?
Oke cantik 
***
Ternyata hari ini sekolah pulang lebih awal. Katanya sih guru-guru ada acara makan siang bersama. Aku pun mengeluarkan handphone dari saku bajuku, dan ternyata Rafka sudah mengirimi SMS aku duluan.
Kamu di mn?
Ini lg di dpn kls. kmu udh di mn?
Di parkiran. Ayo cptan!
Ya 
Aku pun langsung menuju parkiran sekolah, dari jauh aku sudah dapat mengenali punggung Rafka.
“Rafka!”
“Hey ayo!”
Rafka pun menghidupkan motornya dan kami menuju rumahku. Di sepanjang perjalanan aku hanya diam. Aku ingin sekali membuka mulutku, tapi aku bingung harus bicara apa.
“Hei! Kok kamu diam aja sih? Gak suka ya jalan bareng aku?”
“Eh..enggak kok. Hmmm…ka tadi malam aku telponan sama Mas Afis terus aku bilang kalau kita pacaran.”
“Trus Mas Afis bilang apa ke kamu?”
“Ya gitu deh. Pembicaraan kami terputus karena ada ayah.”
“Oh….”
Tak terasa kami sudah sampai di depan gang rumahku.
“Terimakasih ya udah mau anterin aku pulang?”
“Ya sama-sama. Setiap hari juga gak apa-apa kok nganterin kamu pulang. Hehehhe”
“Hehehe hati-hati di jalan?! Jangan kebut-kebut! See you.”
“Oke sayang. Kamu juga hati-hati. See you latter.”
***
Setiap hari aku dan Rafka selalu berkirim SMS dan pulang bareng. Sesekali kami berdua jalan-jalan untuk sekedar makan bareng. Sekarang hubungan kami sudah berjalan hampir enam bulan. Sampai sekarang ayah belum juga mengetahui kami berpacaran. Tetapi aku selalu bercerita dengan Mas Afis tentang apa semua yang kulakukukan bersama Rafka.
Rafka adalah cowok yang baik, pintar, dan rajin beribadah. Ia selalu menasehatiku agar aku rajin belajar. Terkadang ia mengajariku pelajaran-pelajaran yang banyak menggunakan rumus. Aku suka merasa tak pantas untuk Rafka, ia terlalu baik untukku. Rafka begitu sabar menghadapi segala macam tingkah lakuku. Aku suka sekali ngambek dengan Rafka. Kami sering sekali bertengkar, tapi pertengkaran itu takkan berlangsung lama. Aku sangat menyayangi Rafka walau aku terkasan tak peduli dengan dia.
Terkadang aku suka merasa cemburu pada Rafka. Apalagi sekarang Rafka sibuk sekali dengan sekali aktivitasnya. Sampai-sampai dia jarang menghubungiku. Aku merasa ia melupakan aku dan tak lagi menyayangiku. Aku sering sekali berfikiran negatif tentang Rafka. Tapi ternyata aku salah besar, ia begitu menyayangiku dan begitu setia dengan aku.
***
Dari kemarin Mas Afis ada di Yogyakarta. Kuliahnya sedang liburan. Aku senang sekali akhirnya Mas Hafis pulang. Dan siang ini aku dan Mas hafis berecana utuk jalan-jalan ke luar. Dan kali ini ada yang lebih surprise lagi, karena aku akan mempertemukan Mas Afis dengan Rafka. Kami janjian akan bertemu di Pizza Hut.
Ternyata Rafka sudah datang lebih dulu dari kami. Ia duduk di meja agak pojok dekat jendela. Aku melambaikan tangan kepadanya.
“Hai! Sudah lama ya? Maaf ya menunggu.”
“Oh..nggak kok. Aku juga barusan sampai. Silahkan duduk.” Sekilas Rafkatampak tegang saat tatapannya bertemu dengan Mas Afis.
“Oh ya ka, kenalin ini kakak aku Mas Afis. Mas ini Rafka!”
Mereka berjabat tangan ala cowok, dan saling melempar senyum. Akhirnya kami bertiga larut dalam obrolan seru, setelah sebelumnya suasana canggung menyelimuti kami. Mas Afis dan Rafka tampak begitu akrab, dan aku senang sekali melihatnya. Tak terasa hari sudah sore, ku lirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat sore.
“Oke Rafka sampai jumpa lagi!”
“Oh ya Mas. Saya senang sekali bisa ngobrol bareng Mas. Lain kali kita mesti ngobrol lagi!”
“Oh tentu saja itu ka. Sudah pasti.”
“Maha aku pulang dulu ya?! Hati-hati, Mas aku duluan ya?!”
“Oh ya hati-hati ya ka, jangan kebut-kebut.”
“Iya cerewet!”
“Sampai jumpa di sekolah.”
“Oke! See you.”
Rafka pun berlalu dari kami. Aku dan Mas hafis pun menuju tempat motor Mas Hafis di parkir. Sampai di rumah, ternyata Ayah sudah pulang dari kantor. Ayah dan Ibu tampaknya lagi asyik menonton berita tentang teroris.
***
Malam ini di meja makan sungguh terasa lengkap, karena kehadiran Mas Hafis sudah lama kami tunggu. Suasana makan malam kali ini terasa benar-benar hidup. Mas Hafis bercerita tentang kuliahnnya. Wow aku merasa iri dengan cerita-serita Mas Hafis. Tapi Ayah tiba-tiba saja mengatakan hal yang tak ku duga.
“Rani Ayah mau tanya sama kamu nduk. Apakah kamu selama ini sudah jujur dengan Ayah?”
Aku langsung berhenti menyendokkan nasi ke mulutku. Hatiku berdebar sangat kencang, lidahku kelu, aku merasa begitu lemas mendengar kata-kata ayah barusan. Oh God apa ayah sudah tau?
“Hmmmm….ke..kenapa Ayah tanya begitu sama aku?”
“Ayah Cuma mau kamu jujur sama ayah. Apa kamu sudah pacaran?”
“Pa…pa..caran?” Sebisa mungkin aku mengucapkan kata itu.
“Iya nak, ayo katakan yang sejujurnya kepada Ayah.”
Aku hanya dapat tertunduk, air mata sudah hampir jatuh. Aku merasa ingin lenyap saja dari dunia ini.
“I..iya yah aku pacaran”
Aku terus menggigiti bibir bawahku, tangan dan kakiku sama dinginnya. Semua makanan yang baru saja kutelan, rasanya ingin keluar lagi.
“Ayah sudah bilang jangan pacarn dulu. Kenapa kamu langgar itu? Rani putuskan dia!”
Makan malam itu menjadi kacau. Sepanjang malam aku hanya menangis. Aku tak ingin menjadi anak durhaka, tapi aku di satu sisi aku tak ingin putus dengan Rafka. Sampai pada akhirnya aku tiba di ujung lelahku untuk menangis dan aku pun terlelap.
***
Keesokan paginya mataku bengkak. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku hanya diam aku merasa ingin cepat-cepat berlalu dai keadaan ini. Di depan parkiran Rafka sudah menungguku.
“Lho kenapa mata kamu bengkak? Kamu habis nangis ya?” Rafka memandangiku dengan heran.
“Ayah tau ka.”
“Maafkan aku.” Rafka pun seketika lemas setelah mendengar kata-kataku tadi.
Semua pelajaran hari ini tak ada yang nyantol sama sekali di dalam otakku. Hatiku sudah terlalu penat rasanya. Saat istirahat tadi aku dengan segenap keberanianku menemui Rafka dan aku minta putus dengannya. Hatiku sakit sekali rasanya, tapi kami tak punya pilihan lain. Rafka terlihat begitu kecewa, namun ia masih bisa tersenyum padaku.
***
Sudah hampir dua bulan ini kami putus, tapi komunikasi kami masih sangat baik. aku dan Rafka masih suka ngobrol di kantin, Rafka pun masih suka mengantarkan aku pulang. Sampai saat ini aku masih sangat menyayangi Rafka. Tiba-tiba saja lamunanku terhenti oleh bunyi ringtone di HP-ku. Ternyata Rafka menelphoneku.
“Hallo?” sapaku padanya.
“Hai Maha!”
“Ada apa ka telephone aku? Tumben?”
“Apakah aku masih boleh menjadi pacarmu lagi?”
Sejenak aku terdiam. Ingin sekali ku katakan iya padanya.
“Tunggulah aku sampai hari kelulusan kita nanti. Kalau kau benar-benar ingin tau apa jawabanku atas pertanyaanmu ini. Maka katakan ini sekali lagi pada hari kelulusan kita.”
***
Ternyata Rafka benar-benar mengingat perkataanku malam itu. Sudah hampir dua tahun lebih aku mengucapkan kata-kata itu, dan dia benar-benar menunggunya. Aku tak menyangka ia masih mengingatnnya. Sebab yang ku dengar Rafka sudah beberapa kali dekat dengan cewek lain setelah ia putus denganku. Aku merasa ini konyol dan mustahil ia masih mengaharapkan kembali padaku. Tapi ternyata aku salah.
Di saat aku dan teman-temanku sedang terharu karena kami semua LULUS, tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Aku sangat terkejut saat tau siapa yang menarik tanganku. Rafka membawaku ke taman sekolah. Hanya ada beberapa orang di sana, kami memilih duduk di kursi bawah pohon.
“Hmmmm…gimana nilainya? Puas?”
”Allahamdulillah puas.”
“Hari ini aku akan menagih janjimu Nona Maharani.”
“Hah janji? Janji apa? Kok kayaknya aku gak pernah janji-janji sama kamu tuh?”
“Iya janji dua tahun lalu.” Sekilas ku lihat Rafka tersenyum melihat ekspresi wajahku yang kaget. “Kamu ingat tidak kalau kamu pernah bilang mau jawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan?” aku coba mengingat-ingat.
“Iya pertanyaan kalau aku masih boleh gak jadi pacar kamu?”
Aku kaget mendengar perkataan Rafka, seketika wajahku langsung memarah. Sejenak aku terdiam.
“Hmmmm..baikalah Rafka aku mau jadi pacar kamu lagi. Sejujurnya aku masih sayang sekali sama kamu. Tapi ada syarat yang harus kamu penuhi.”
“Syarat? Syarat apa?”
“Kamu harus minta izin ayah supaya kita dibolehin pacaran. Gimana?”
“Oke! Siapa takut.”
Ternyata Rafka benar-benar serius dengan kata-katanya. Sepulang dari pengumuman, ia mengantarkan aku pulang dan ia langsung menemui Ayah untuk minta izin. Aku takut sekali kalau-kalau Ayah akan mengusir Rafka. Lagi-lagi dugaanku salah, Rafka berhasil meyakinkan Ayah dan dia berjanji akan menjadi pria terbaik untukku. Dan Ayah pun memberikan kami izin untuk pacaran. Aku benar-benar bahagia dan bangga terhadap Rafka karena ia berhasil menaklukan hati Ayah.
Aku bukanlah wanita hebat
Tidak pintar, tidak pula cantik
Aku bukanlah wanita bersuara merdu
Hartaku tak banyak jauh dari kata sempurna
Tapi, biarkanlah aku jadi wanita paling beruntung
Karena aku memilikimu sayang 
By: Maria Nur Hasanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar