Rabu, 09 Mei 2012

JENDELA RIBUAN MIMPI





Oleh Zakia Prajani

Diruang kecil itu seorang lelaki  paruh baya telah menghabiskan beberapa tahun terakhirnya. Tak ada hal yang membuatnya betah disana. Hanya sebuah ranjang kecil yang renta termakan usia, sama sepertinya. Tak ada sanak saudara ataupun kerabat yang menjenguknya. Beberapa kali memang si susulung datang hanya untuk menuliskan hitam diatas putih, memaksa sang ayah untuk menandatangani surat pembagaian warisan.  Tak ada yang bisa dilakukannya selain menurut, toh ia juga merasa kulitnya sudah mulai menyibak aroma tanah.

Akhirnya hal yang selalu diimpikannya datang juga. Seorang teman. Sekarang Ia tak sendiri lagi di ruangan kecil dengan aroma raksanya yang khas. Seorang lelaki berusia 40 tahun kini menjadi bagian dari kamar itu, dari jiwa yang selalu merintih kesepian. Sang kakek selalu berdoa agar ia diberikan seorang teman dalam ruangan ini, agar ia tak sendirian, agar ia tak kesepian. Ia ingin mengobrol dan menceritakan betapa gagahnya ia dulu menjadi seorang tentara yang bertempur di Ambarawa.
Sayang, teman barunya hanyalah pendengar setia. seluruh neuron dalam syaraf pusatnya mati. Satu-satunya indra yang masih berfungsi adalah telinganya. Kata manusia-manusia berbaju serba putih itu harapan hidup lelaki ini hanya sekitar 20 %, ya manusia-manusia itu juga bertingkah bagai seorang peramal, menurut mereka waktunya hanya tinggal tersisa 7 hari lagi. Bedebah mereka, seolah ingin mengalahkan kekuasaan Tuhan saja !

                Dimulailah kehidupan baru diruang sempit dan pengap itu. Sejak mendapat teman baru, sang veteran tak henti-hentinya bercerita tentang keadaan dibalik jendela. Ya, ranjangnya memang berada di pojok ruang dan memang dekat pula dengan jendela, sedang si lelaki koma didekat pintu masuk kamar ini.



Hari pertama :
“wah.. lihatlah hari ini mentari bersinar terang. Oh lihat, dibawah sana banyak anak kecil yang sedang bermain bola. lihatlah, mereka bermain dengan sangat bersemangat sampai sampai bajunya basah bagai mandi keringat saja hahaha..seru sekali mereka bermain, andai kau bisa melihatnya juga ! ”

Hari kedua :
“hmm… pagi ini rupanya matahari lagi murung. Sinarnya agak redup, tapi lihatlah juntaian pelangi itu ! wah, ada warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan nila ! indah sekali, baru kali ini aku melihat pelangi dengan sangat jelas ! benar-benar menakjubkan, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke tiga :
“ Subahanallah ! alangkah indah hari ini ! bunga-bunga di taman bawah merekah dengan warna-warna yang sangat indah ! oh lihat, ada kupu-kupu, lebah, dan burung-burung pipit yang sedang bercengkrama diantaranya. Pemandangan yang sangat bagus, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke empat :
“Allahuakbar ! lihatlah betapa manisnya anak-anak perempuan yang sedang bekejar-kejaran berusaha menangkap kupu-kupu ditaman itu ! rambut ikalnya berayun-ayun seolah ikut bersemangat mengejar kupu-kupu dengan aneka warnanya itu ! manis sekali, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke lima :
“hm.. Lahaula walakuata.. apa benar pemandangan yang kulihat ini ? mentari pagi dengan sinarnya yang membiaskan seluruh ruangan. Oh~ lihatlah dua orang remaja itu. Duduk berdua dibawah pohon. Manis sekali. Hahaha aku jadi ingat cinta pertamaku dulu. Ya ! sang lelaki menghadiahkan sebatang coklat, wah romantis sekali, andai kau bisa melihatnya juga !”



Hari ke enam :
“Ya Salam ! pagi ini Monas terlihat begitu megah ! ini hari libur kah ? banyak sekali orang yang berkumpul disana. Oh, beberapa dari mereka berkeliling dengan sepeda  bersama. Aku baru sadar betapa indahnya Jakarta di pagi ini ! alangkah menyenangkan yah, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke tujuh :
“Subahanallah, malam ini sedang ada bulan purnama ! wah betapa bulat dan terangnya bulan itu ! aku belum pernah melihat yang seperti ini ckckckck Allah memang maha besar. Malam ini suasana diluar sana damai sekali, andai kau bisa melihatnya juga !”

                Tak ada cerita dihari kedelapan ini. Lelaki tua itu telah pergi. Bukan, ia tidak pergi melihat suasana ditaman atau disekitar Monas seperti yang  diceritakannya setiap hari pada si lelaki bisu yang masih saja terbaring dengan berbagai alat medis yang tiap saat berdecit, “tiit..tiit..tiit..”. lelaki tua itu akhirnya bisa keluar dari ruangan yang serba putih ini, ia kahirnya menemukan dunianya yang baru, alam yang baru…
***
                Satu bulan kemudian…

                Benar saja, manusia-manusia yang berjubah serba putih itu tak bisa menandingi kekuasaan Tuhan. Lihatlah, kini sang lelaki bisu yang mereka perkirakan tak akan bertahan lebih dari satu minggu, kini telah sadar dari tidur panjangnya. Keajaiban Tuhan, memang tak pernah bisa di tebak !  

“Suster, bolehkah ranjang saya dipindahkan ke pojok ruang dekat jendela itu ? bukankah itu kosong ?”

“ya, tentu saja, tuan !” ujar sang suster dengan sedikit bingung, dari mana ia tahu ada jendela ?

                Setelah berpindah ranjang, betapa terkejutnya sang lelaki mendapati sebuah jendela yang begitu tinggi.  Jangankan untuk melihat keuar, jendela tersebut tak bisa dijagkaunya, sekalipun ia berdiri! Jendela kecil itu lebih tepat disebut fentilasi ! dengan nada memohon, dimintanya sang suster untuk melihat keluar jendela tersebut, akhirnya dengan bantuan beberapa rekanya, sang suster dapat melihat suasana dibalik jendela kecil itu.

“tak ada yang dapat terlihat, tuan. Kamar ini langsung berbatasan dengan sebuah gedung, jadi tak ada yang bisa dilihat !” katanya.

“tidak mungkin, sus ! bapak tua yang sebelumnya dirawat dini setiap hari selalu bercerita pada saya tentang pemandangan yang indah, taman, monas, dan… lapangan tempat anak-anak bermain bola ! dia selalu bercetita tentang sinar matahari pagi yang terbiaskan dari jendela itu !”

 Sang suster terlihat terkejut.

“maksud tuan, pak tua itu ? ah~ tuan bercanda ! bagaimana mungkin dia bisa melihat keluar jendela yang tinggi dan tidak ada apa-apanya ini sedangkan matanya saja buta dan kakinya lumpuh !”

“tapi ceritanya benar-benar nyata, sus ! bahkan saya bisa merasakan sinar matahari itu saat dia bercerita ! dan dia selalu menyelipkan kalimat : andai kau bisa melihatnya juga !  diakhir ceritanya itu !”
“Ya tuan, lelaki itu memang hebat. Ia tahu anda koma, dan tinggal indra pendengaran anda sajalah yang dapat berfungsi. Tapi, setiap hari ia mencoba memotivasi Tuan dengan ceritanya yang begitu nyata dengan menyelipkan kata-kata : andai kau bisa melihatnya juga ! agar Tuan, tersugesti untuk dapat melihat apa yang seolah-olah ia lihat ! padahal kami memprediksikan umurnya jauh lebih lama dari tuan, tapi Tuhan lah yang berkuasa atas segalanya. Kami salah…” ujar suster Devira dengan
nada rendah seolah menyesal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar