Sabtu, 05 Mei 2012

DOSA TERBESAR


Udara siang ini sangat menyengat, membuat peluhku bercucuran dengan deras. Aku mengusap keringat yang terus mengalir dari dahiku. Hhhhh…rasanya tubuhku ini juga menjadi lebih letih karena sinar matahari yang terus-menerus menyorotiku tanpa ampun. Aku berhenti sejenak dari pekerjaanku mengaduk semen. Mungkin segelas air putih mampu mengurangi rasa letih yang sedang menderaku.
“Udaranya panas banget ya, Di…,” Kang Asep, salah seorang teman kerjaku juga ikutan istirahat. Kami berteduh di bawah pohon mangga pemilik rumah yang sedang kami bangun. Ia menyeduh kopinya dengan air panas dari termos yang sudah disedikan pemilik rumah.
“Iya, Kang. Rasanya jadi makin cape ya Kang….” Aku menimpali. Kang Asep tersenyum.
“Yah….mau diapain lagi Di. Kerja kita kan emang selalu berteman dengan matahari. Kalo ga, ga akan beres-beres atuh kerjaan kita,” Jawab Kang Asep dengan logat sundanya yang kental. Kami berdua tertawa. Waktu-waktu seperti inilah yang membuat kami melupakan beratnya beban hidup kami. Berbincang sambil menyeruput kopi adalah waktu terbaik diantara jam kerja kami. Ya, karena dalam pekerjaanku sebagai tukang bangunan tak ada hiburan lain. Tak ada AC yang mampu melindungi kulit kami dari teriknya sinar matahari, tak ada kusi empuk yang mampu menopang kami ketika rasa letih itu mendera. Bahkan tak ada OB yang setiap harinya membawakan kopi ke ruangan kerja kami.
“Gimana anakmu, Di? Sudah kamu bayar uang SPP-nya yang nunggak tiga bulan itu?” Suara khas Kang Asep yang berwibawa itu membuyarkan lamunanku. Aku menarik nafas panjang. Seakan ada beban yang ingin segera ku keluarkan.
“Belum Kang. Uang dari mana saya….Buat utang di warung Bi Yati aja masih lieur (pusing).”
“Emang berapa yang belum kamu bayar?” Tanya Kang Asep sambil mengambil pisang goreng di hadapan kami.
“75.000 Kang….” Jawabku sambil mengaduk kopi yang baru saja aku buat. “Saya sebenarnya kasian sama Sani. Dia pasti malu banget karena nunggak SPP. Mana gurunya tiap hari nagih lagi…”
Kami terdiam. Hanya angin berhawa panas yang terdengar.
“Di….” Kang Asep mulai bicara lagi. “Ini kebetulan saya ada uang. Kemarin ada yang borong rambutan saya. Ini kamu pake buat ngelunasin SPP-nya Sani. Kasian dia. Sani juga kan udah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Masalah ngembaliin kamu ga usah mikirin. Ntar-ntar aja kalo kamu emang udah punya uang….” Kang Asep mengeluarkan sejumlah uang dan menyelipkannya ke saku celanaku. Tak mampu aku mencegah niat baiknya. Aku hanya bisa memeluk tetanggaku ini.
“Terima kasih, Kang. Terima kasih…..”
******************
“Ayah….” Sani, anakku, langsung menyerbuku begitu aku menginjakkan kaki di istana kecilku ini. Memang hanya rumah sederhana dan dengan perabotan seadanya, tapi disinilah semua kebahagiaanku berada. Istriku yang cantik, anakku yang lucu dan menggemaskan yang selalu membuatku ingin cepat kembali ke rumah begitu pekerjaanku beres.
“Ayah, tadi Sani dapet nilai sepuluh buat pelajaran matematika….” dengan bangga bocah berumur delapan tahun itu mengeluarkan selembar kertas dengan angka sepuluh tertampang di bagian kanan atas kertas. “Padahal tadi ulangannya ngedadak. Bu Gurunya ga ngasih tau dulu. Sani hebat kan Ayah….” aku tersenyum lalu memberinya ciuman dan pelukan sebagai hadiah.
“Iya sayang… siapa dulu dong ayahnya….”
“Iya dong. Ayah Sani emang juara deh. Canggih….” Jawab anakku menirukan salah satu adegan dalam sebuah sinetron yang diperankan oleh anak kecil menggemaskan di stasiun tv swasta.
“Eh…Sani. Kasian Ayah baru pulang. Bukannya dikasih minum. Ayah kan cape sayang,” Lia, istriku, yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan kami akhirnya ikut bicara. Dia mencium tanganku dan memberikan teh hangat kesukaanku.
“Ibu….Sani kan cuma pengen ngasih tau Ayah nilai ulangan Sani…” Protes Sani. Aku tertawa melihat polah lucu anak semata wayangku tersebut.
“Iya sayang.. Ibu tau… Eh, sekarang udah jam empat tuh. Cepat siap-siap ngaji di masjid. Liat teman-temanmu mulai pergi ngaji,”
“Iya Ibu…. Ayah, nanti malam ceritakan Sani tentang tokoh-tokoh hebat dunia lagi ya..” Aku memberikan jempolku sebagai tanda setuju dan menyuruhnya untuk cepat-cepat pergi ke masjid jika tidak ingin Ibunya terus mengomel.
******************
Belum tuntas aku nembok, ketika tiba-tiba Teh Asih, istri Kang Asep yang juga tetanggaku, berlarian dan memanggil namaku dengan begitu panik.
“Di..Ferdi…anakmu Sani, Di..”Teh Asih yang masih ngo-ngosan karena berlari tadi langsung memanggil namaku. Tiba-tiba dadaku berdetak kencang, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apalagi Teh Asih menyebut-nyebut nama Sani. Tuhan, mudah-mudah ini bukan sesuatu yang buruk. Aku menghampiri Teh Asih dan bertanya mengapa dia begitu panik.
“Ada apa Teh? Kenapa dengan Sani?” Tanyaku.
“Sani, Di. Dia…badannya panas sekali. Juga,…kejang-kejang….Teteh takut kenapa-napa. Lia tadi sudah memberikan obat penurun panas tapi Sani malah kejang-kejang. Cepat, Di. Kasian Lia sendirian di rumah…..”Teh Asih mmberitahuku dengan terburu-buru.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuju rumah. Aku bahkan lupa pamitan dan minta izin pada pemilik rumah. Ah!!!! Sudah lah. Sekarang pikiranku hanya tertuju pada Sani. Toh ada Kang Asep disana. Aku yakin dia bisa meyakinkan pemilik rumah alasan mengapa aku tiba-tiba meninggalkan pekerjaanku.
Tuhan, ada apa dengan Sani? Padahal tadi pagi, sebelum Sani berangkat ke sekolah, kami masih tertawa bersama. Dia masih berada dalam pelukanku. Dia masih memberiku nasi goreng buatan ibunya.
Tiba di rumah, aku melihat Lia sedang menangis sambil mengompres Sani. Sani sepertinya sedang tertidur karena matanya terpejam. Aku langsung menghampiri dua malaikatku ini. Memeriksa tingkat suhu badan Sani dengan menempelkan telapak tanganku ke dahi Sani. Tuhan, panas sekali! Ini bukan sakit panas biasa. Badan Sani juga menggigil.
Tanpa berpikir apa-apa lagi, aku langsung membopong Sani.
“Bu, kita harus bawa Sani ke Puskesmas. Ini bukan panas biasa..”kataku sambil berlari keluar rumah. Lia menurut. Setelah mengunci pintu rumah, kami langsung menuju puskesmas terdekat.
Beruntung masih ada dokter yang berjaga karena hari memang belum begitu sore. Dokter langsung menyuruhku meletakkan Sani ke atas tempat tidur. Kami menunggu di luar ruangan sementara dokter memeriksa keadaan Sani.
Tuhan, tolong selamatkan Sani. Beri anugerahku ini kesembuhan, Tuhan. Aku kasian padanya. Aku tak rela melihatnya menderita seperti ini.
Lia masih menangis ketika dokter menghampiri kami.
“Pak..Bu..kami harus merujuk anak Ibu ke rumah sakit karena puskesmas ini tidak memiliki peralatan medis yang lengkap.” Betapa kagetnya aku mendengar pernyataan dokter. Sani harus dirujuk ke rumah sakit? Berarti ini memang bukan sakit panas biasa….
Tangisan istriku makin menjadi ketika dokter tersebut memberiku sebuah surat rujukan untuk Sani. Aku mengambil Sani dan segera menuju rumah sakit.
Jarak antara puskesmas dengan rumah sakit tersebut lumayan jauh hingga baru selepas Maghrib kami baru sampai. Kami langsung berlari menuju ruang emergency.
“Dok, tolong anak saya. Dia panas dan kejang. Ini ada surat rujukan dari dokter puskesmas..” Lia memberikan surat yang tadi diberi oleh dokter di puskesmas kepada salah seorang perawat. Perawat tersebut membaca surat rujukan tersebut.
“Baik, kami akan menangani anak ini. Bapak tolong ikut saya untuk mengurus administrasinya….” Ucap perawat tersebut. Aku memberikan Sani pada Lia dan menyuruhnya untuk menungguku disini sementara aku mengikuti perawat itu mengurusi adminstrasi.
Setibanya di counter kasir, perawat tersebut berbicara dengan seorang lelaki paruh baya. Aku mengagguk pada lelaki itu. Perawat berusia sekitar dua puluh lima tahun tersebut menyuruhku untuk berbicara langsung pada Pak Nasrul, lelaki paruh baya yang tadi berbicara dengan perawat yang belakangan ku ketahui bernama Irna.
“Pak, ada beberapa biaya administrasi yang harus bapak lunasi sebelum anak bapak dapat kami rawat. Seluruhnya sekitar dua setengah juta Pak,” Pak Nasrul memulai pembicaraan. Serasa ada bongkahan batu besar yang menindihku ketika Pak Nasrul mengakhiri kalimat terakhirnya. Dua setengah juta???? Dari mana aku bisa dapatkan uang itu? Bahkan untuk melunasi SPP Sani pun Kang Asep yang turun tangan….Tuhan, apa yang harus Hamba lakukan????
“Dua setengah juta, Pak? Eh….saya tidak membawa uang. Apa bisa saya membayarnya besok. Ini sudah malam. Saya janji akan membayarnya besok..” Dengan suara yang ditenang-tenangkan aku berusaha membujuk Pak Nasrul. Yang penting Sani malam ini juga mendapat perawatan dari dokter, meski aku tak tahu dari mana uang itu akan ku dapatkan.
“Maaf, Pak. Ini sudah menjadi kebijakan pihak rumah sakit. Kami tidak bisa melakukan tindakan medis sebelum Bapak melunasi seluruh biaya administrasinya.” Senyum Pak Nasrul di akhir penjelasannya tak mampu membunuh rasa kecewaku.
“Baik, Pak. Saya akan bawa uang itu.” Aku langsung menghampiri Lia yang sedang menggendong Sani. Kasian anakku. Dia pasti begitu kesakitan.
“Bu, kita harus melunasi biaya administrasinya sebelum Sani mendapatkan perawatan. Ayah akan berusaha mencari uang dua setengah juta itu.”
“Apa, Yah? Dua setengah juta? Darimana kita dapatkan uang itu?” Lia seakan tak percaya dengan kata-kataku. Sebenarnya, aku sendiri juga tidak tahu darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Aku hanya tersenyum. Berusaha menenangkan hati istriku. Aku membelai kepala Sani. Mengecupnya dengan penuh cinta. Sani, sabar ya, Nak. Ayah pasti akan kembali dengan uang itu. Sani harus kuat. Masih banyak tokoh-tokoh hebat dunia yang belum Ayah ceritakan….
“Ibu tenang saja. Jaga Sani. Ayah akan kemari dengan uang itu….” Janjiku. Lia mengangguk. Mata indahnya telah tertutupi oleh air mata yang seakan tak mau berhenti jatuh.
******************
Sudah empat jam berlalu, tapi belum juga kudapatkan uang itu. Aku sudah mencoba meminjam uang pada Kang Asep dan beberapa tetanggaku. Tapi jawaban mereka selalu sama “boro-boro uang segitu. Buat makan aja susah, Di….”
Tuhan, apa yang harus ku lakukan untuk buah hatiku tercinta. Dia sedang menderita disana dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menangis di pinggiran jalan. Entah sudah berapa kilometer yang ku tempuh untuk mendapatkan uang itu. Hingga di akhir titik kepasrahanku, ada satu pikiran gila yang selama ini ku tentang habis-habisan. Meminjam uang ke Kang Parmin, lintah darat di kampungku! Lia pasti akan menertawaiku bila tahu rencanaku ini karena selama ini aku yang paling frontal mengucapkan rasa tidak suka ku pada satu-satunya rentenir di kampungku itu. Bagaimana tidak, di saat orang lain sedang membutuhkan pertolongan, Kang Parmin malah memanfaatkan hal tersebut demi keuntungan pribadinya. Uang yang ia pinjamkan harus dikembalikan dua kali lipat. Dan itu akan semakin bertambah dengan berjalannya waktu. Lalu, kini???? Aku harus menelan kembali ludah yang sudah ku keluarkan. Demi anakku. Ya, demi Sani akan ku lakukan apapun. Termasuk meminjam uang pada lintah darat itu dengan segala resikonya.
******************
Setelah memohon-mohon dan mencium kaki Kang Parmin, akhirnya aku dapatkan juga uang itu. Aku langsung bergegas menuju rumah sakit. Lia pasti sudah menunggu terlalu lama di sana. Sabar ya Sani. Ayah datang, nak.
Dengan langkah tergesa ku tapaki ruang emergency rumah sakit megah ini. Ruangan ini sudah sepi. Tak banyak lagi orang di sini. Yah…memang seharusnya. Ini sudah malam dan tentu sudah banyak orang yang pulang dan tertidur.
Aku tersenyum melihat Lia yang masih berada di tempat yang sama ketika ku tinggalkan. Ku rekatkan kantong plastik berisikan uang pinjaman Kang Parmin di dadaku. Tak sabar lagi rasanya aku mengejutkan Lia bahwa aku telah menepati janjiku. Kembali dengan membawa uang untuk Sani. Lia, meski lusuh tapi terlihat begitu cantik di mataku, masih menggendong Sani. Dekapannya erat sekali seakan tak mau melepaskan buah cinta kami. Dan Sani….dia masih tertidur. Mungkin terlalu lelah menunggu Ayahnya. Atau mungkin lapar mengingat dari siang Sani belum makan. Aku tersenyum bila mengingat besok akan kutemukan lagi wajah ceria Sani.
“Bu, Ayah sudah dapatkan uang itu. Sani bisa dirawat sekarang….”Aku bicara setenang mungkin untuk menutupi rasa bahagiaku yang membuncah. Lia tetap terdiam. Tangannya semakin erat mendekap Sani. Matanya tak pernah lepas dari wajah bocah kelas dua SD itu.
“Bu… Ayah ke bagian adminstrasi dulu ya untuk memberikan uang ini…” aku hendak berdiri ketika Lia mengucapkan sesuatu.
“Sani sudah pergi, Yah…dia meninggalkan kita… Dia….” Bagai tersambar petir di siang bolong aku mendengar kalimat Lia. Hahaha…. Lia pasti becanda. Tapi bagiku ini sama sekali tidak lucu. Ini bukan waktu yang tepat Sayang untuk kita becanda.. Nanti jika Sani sudah sembuh kita akan tertawa bersama kembali. Aku janji..
“Sani meninggal, Yah. Dia terlalu lelah menunggumu..” mataku tiba-tiba memanas. Kantong kresek berisi uang adminstrasi pun lepas dari genggamanku. Aku melihat Sani. Tidak, Lia. Dia hanya sedang tertidur. Besok pagi anak kita pasti akan bangun dan memberiku nasi goreng buatanmu lagi. Lalu malamnya, aku akan menceritakan tentang orang-orang hebat dunia lagi.. Sani-ku tidak meninggal, Sayang. Lihat wajahnya yang tenang itu. Dia pasti sudah melupakan rasa sakitnya. Sani… anakku pasti akan sehat kembali dan menghadirkan keceriaan itu lagi..
“Yah… kita pulang. Rumahnya yang abadi sudah menunggunya.” Lia berdiri, masih mendekap Sani. Senyumnya yang getir memberiku satu kenyataan yang tak ingin ku yakini. Bahwa Sani sudah kembali pada Pemilik yang sebenarnya….
******************
Gundukan tanah merah itu masih basah. Wangi bunga kamboja pun masih terasa. Rombongan yang mengantar jenazah Sani sudah dari tadi meninggalkan kami berdua.
Lia… tak sepatah kata pun terucap darinya. Sedari tadi dia hanya terdiam. Tangannya menyentuh batu nisan bertuliskan ANDRIANI ASMALATIN SANI, anak kami. Aku memeluknya.
Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul di hatiku. Seandainya aku, dulu, tidak bekerja sebagai supir pada Pak Burhan, ayah Lia. Seandainya aku tidak nekat mengutarakan rasa cintaku padamu, anak majikanku. Seandainya kita tidak melanggar perintah Ayahmu yang melarangku untuk menikahimu hingga memaksamu keluar dari rumah mewahmu. Seandainya….. Maafkan aku, Lia. Cintaku yang begitu dalam telah memberikanmu banyak penderitaan. Mungkin inilah dosa terbesar yang harus ku bayar seumur hidupku karena telah berani melanggar sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan. Mencintaimu….
By: Puterislami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar