Sabtu, 05 Mei 2012

TERHEMPAS BATU CADAS



Cerpen UUL

Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Tak ada seorang siswa pun yang protes mendengar bel ini. Wajah letih dan lelah yang terlukis pada setiap wajah berganti dengan sesungging senyuman. Bel ini terdengar seperti lantunan lagu-lagu penyejuk jiwa. Kukemasi buku-buku dan alat tulisku yang berserakan di atas meja. Hampir setengah hari aku berada di sini, mendengarkan guru mengajar dan mengerjakan tugas sekolah. Aku melangkah gontai keluar kelas. Aku malas pulang ke rumah dan bertemu Bapak. Bapak adalah sosok pria pemarah dan egois. Padahal aku ingin bel ini tak sampai ke telingaku. Biarlah aku tuli untuk kenyataan pahit ini.

Angkutan kota berseliweran di jalan raya depan sekolah. Aku termenung. Tak saatupun angkutan kota yang sengaja kustop. Aku enggan pulang ke rumah. Bukan karena takut akan kemarahan Bapak, namun aku sudah terlalu muak melihat dan mendengar Bapak menyalahkan Ibu dan menghancurkan barang-barang di rumah.

Tin! Tin! Sebuah klakson angkutan kota membuyarkan lamunanku. Aku terpekik kaget. Sebuah angkutan kota penuh penumpang tanpa kenek berhenti di depanku. Mau tak mau aku harus pulang. Hari sudah semakin sore. Walau bedug ashar belum terdengar, angkutan kota yang melewati jalan raya depan sekolah makin berkurang. Mungkin inilah angkutan kota yang terakhir. Oleh karena itu aku segera masuk ke dalam angkutan kota ini.

Angkutan kota ini terus melaju kencang, membelah jalan raya di sepanjang jalan perumahan dan instansi pemerintahan. Aku menutup mata, mencoba menghilangkan bayanganku tentang Bapak. Laju angkutan kota yang kunaiki mulai berkurang. Tiba-tiba supir menghentikan kendaraan ini dan turun dari balik kemudi. Roda belakang bocor. Aku ingin mengulur waktu agar sampai di rumah lebih sore. Bedug ashar terdengar. Ah,ya! Aku belum shalat dhuhur. Daritadi yang kupikirkan hanya Bapak sehingga aku melupakan kewajibanku sebagai seorang muslimah.


Roda belakang selesai diganti. Aku menampakkan wajah takutku lagi. Walaupun jarak dari rumah ke sekolah sekitar tujuh belas kilometer, aku tak bisa tenang sedikitpun. Aku ingin jalan ini makin kpanjang dan tak ada ujungnya. Dengan begitu, aku tak akan menatap wajah Bapak yang penuh kemarahan. Menit demi menit berlalu. Kendaraan yang kunaiki memasuki wilayah baru. Inilah tempat tinggalku.
“ Ada yang turun di kantor pos?”,supir melirik dari kaca spion. Aku bungkam. Biasanya aku memang turun di situ. Tapi aku ingin sampai di rumah lebih lama.

Delapan ratus meter kemudian barulah aku berteriak,”Stop sini,Pak!”. Aku turun dan berjalan pelan dengan perut keroncongan dan kerongkongan kering.

Aku sengaja mengambil jalan memutar yang akan sampai di rumah lebih lama. Deg! Akhirnya sampai juga. Entah berapa lama aku berjalan namun tiba-tiba aku sampai. Rumah sedehana dengan bilik bambu dan lantai tanah yang terlihat di depanku sekarang adalah rumahku.

Aku berlari. Pikiranku was-was. Kuputar perlahan gagang pintu rumahku. Aku terpejam beberapa saat. Seisi rumah berantakan. Ibu tertunduk lemas di samping meja sementara Bapak melotot bengis. Kaca bufet retak, asbak pecah, dan... kulihat pilaku hancur berkeping-keping. Itu pialaku satu-satunya. Aku terpukau. Hatiku pedih. Benda itulah benda berharga dalam hidupku. Benda itu jugalah yang mengingatkanku pada masa laluku ketika aku masih senang menulis. Benda itulah benda termewah di rumahku, benda itu juga yang memberiku semangat agar aku tetap menulis diantara tangis dan kesedihan.

Aku menangis. Bapak menendang kepingan-kepingan pialaku. Hatiku terluka. Pedih bagai disayat sembilu apalagi begitu melihat Bapak melempari Ibu dengan barang-barang yang berserakan sambil mencacimaki Ibu dengan kata-kata kasar yang menyakitkan hati. Selama ini, Ibulah yang mencari nafkah untuk keluarga. Ibu mencari biaya sekolah untukku dan akikku dengan menjadi buruh cuci sementara Bapak hanya malas-malasan dan memarahi Ibu. Harusnya Bapak sebagai kepala keluarga yang menghidupi kami.

Adikku menghambur ke arah Ibu dan menjadi sasaran lemparan pecahan asbak dari Bapak. Ibu menangis sambil memeluk adikku dan kesabaranku pun sudah habis. Aku sudah tak tahan lagi melihat pemandangan ini.
“Cukup, Bapak! Masih belum cukupkah air mata yang kami teteskan karena Bapak?!,”aku berucap lantang. Mendengar ucapanku Bapak mengumpat, mencaci dan akhirnya pergi disertai hinaan.
“Sudahlah, nak! Jangan membuat Bapakmu marah. Semua ini biarlah Ibu yang menanggungnya,” Ibu menghapus air matanya.
“Ibu, sampai kapan cobaan seperti ini akan berakhir?,”aku menunduk.
“Sudah, kamu harus tabah menghadapi semua ini,”sebisa apapun Ibu menghiburku, namun aku tahu kalau Ibuku juga manusia. Ibuku juga punya batas kesabaran. Namun, aku kagum pada Ibuku yang tetap memaafkan Bapak walau Bapak begitu kejam.

Aku segera mengambil air wudhu dan kutunaikan shalat ashar. Dalam shalat aku berdoa, semoga Allah membuka pintu illahi di hati Bapak. Biarpun kami terhempas pada batu keras dan bercadas, kami yakin kalau batu keras dan bercadas itu akan hancur perlahan, berubah halus dan kami akan melakukan hal yang sama di hati Bapak dengan jutaan tetes air mata....

Sekian.


DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2012/03/cerpen-sedih-terhempas-batu-cadas.html#ixzz1tzOMSCbj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar